Menyambut 2 tahun usia Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Almuzzammil Yusuf, menyampaikan 6 catatan kritis terkait kinerja pemerintahan. Catatan tersebut berupa evaluasi dan saran konstruktif terhadap kebijakan politik, hukum, dan keamanan Pemerintahan Jokowi-JK.
Pertama, Pemerintahan Jokowi-JK dinilai telah mengintervensi terlalu jauh urusan internal partai politik yang berseberangan dengan pemerintah. "Padahal, dalam UU Partai Politik, Kementerian Hukum dan HAM hanya menjalankan keputusan pengadilan dengan menjalankan prosedur administrasi pengesahan partai politik," ujar dia melalui rilis pers yang diterima Jumat (21/10).
Wakil Ketua Komisi II DPR tersebut mengatakan, kasus konflik pergantian kepemimpinan di Golkar dan PPP adalah tragedi politik di era Pemerintahan Jokowi-JK yang mengancam iklim demokrasi di Indonesia. Dalam kasus ini, ia menyarankan agar Pemerintahan Jokowi-JK belajar dari Pemerintahan SBY yang lebih moderat dan proporsional dalam menangani konflik internal partai, meskipun berseberangan dengan Pemerintah pada saat itu.
Catatan kedua, adalah soal pencabutan 3.143 peraturan daerah oleh Pemerintahan Jokowi-JK yang dinilainya, tanpa kajian yang komprehensif, transparansi, pelibatan publik, dan koordinasi yang baik dengan pemerintahan daerah.
Pembatalan Perda tahun ini adalah yang terbanyak untuk kurun waktu satu tahun berjalan. Perda yang dibatalkan termasuk Perda pendidikan gratis seperti Perda Nomor 5 Tahun 2009 Kabupaten Sarolangun Jambi tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah Gratis serta Perda Nomor 5 Tahun 2014 Kabupaten Kayong Utara Kalimantan Barat tentang Pendidikan Gratis. Padahal sebelumnya Kemendagri mengatakan Perda yang dicabut hanya Perda investasi, retribusi, dan pajak.
"Dalam hal ini, kami menilai Pemerintahan Jokowi-JK kurang menghargai Perda yang merupakan produk politik daerah yang memiliki konteks kearifan lokal," ujar dia.
Muzzammil mengingatkan, jika tidak hati-hati, pencabutan perda besar-besaran ini mengancam otonomi masing-masing daerah dan merupakan wujud kegagalan Pemerintahan Jokowi-JK dalam melakukan supervisi, pembinaan, dan koordinasi dengan pemerintahan daerah.
"Saran kami ke depan, Pemerintahan Jokowi-JK harus lebih hati-hati, mengkaji secara komprehensif dan melibatkan publik, terutama akademisi/universitas dan LSM di daerah sebelum mencabut perda," ujar politisi asal Lampung ini.
Catatan ketiga, Presiden Jokowi dinilai menggunakan hak prerogatif mengangkat pejabat negara secara tidak cermat dan inkonsisten. Publik mempertanyakan pengangkatan Menteri ESDM yang memiliki kewarganegaraan ganda, pemilihan Jaksa Agung dari unsur partai, dan masuknya menteri dari anggota koalisi baru pemerintahan.
Ia menyarankan, ke depan Pemerintahan Jokowi-JK seharusnya konsisten memilih pejabat negara yang dibutuhkan masyarakat, berintegritas, berkompeten, dan tidak memiliki konflik kepentingan. Hal ini penting untuk menjaga marwah pemerintahan dan NKRI.
Catatan Keempat, Presiden Jokowi dinilai telah bersikap pasif terhadap perbuatan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta yang mengancam Pancasila, sila Ketuhananan yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia.
Muzzammil mernyebut, sikap diam dan pembiaran Presiden telah membangun interpretasi publik, terutama umat Islam bahwa Presiden melindungi arogansi dan perbuatan penistaan terhadap ayat suci Al Quran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta. "Ada kesan Presiden telah mencontohkan kepada warga negara, salah benar teman harus dibela dan dilindungi.”
Muzzammil menyarankan, agar Presiden dengan sikap kenegarawanan, seharusnya menyampaikan posisi sikap tegas sebagai Kepala Negara bahwa siapapun penista agama, pemecah persatuan bangsa harus diproses secara hukum meskipun dalam proses pemilihan kepala daerah.
"Kami berharap Presiden lebih aktif dan secara terbuka meminta Kapolri untuk memproses secara hukum karena negara kita adalah negara hukum. Pasifnya Presiden dalam kasus ini bernilai negatif bagi publik, terutama umat Islam. Sikap tegas dan keberpihakan Presiden terhadap kebenaran dan hukum ini sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia," ujarnya.
Catatan Kelima, adalah soal paket kebijakan hukum. Pemerintah harus segera menyusun dan melaksanakan paket kebijakan hukum tersebut karena indeks rule of law Indonesia saat ini berada di peringkat 52 dan indeks persepsi korupsi pada urutan 88. "Kami mempertanyakan realisasi Nawacita Presiden Jokowi No.4 yang menyebutkan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya," ujar dia.
Muzzammil menyebut, ada 5 hal penting yang harus diperhatikan dalam paket kebijakan hukum Pemerintahan Jokowi-JK diantaranya adalah : (1) adanya konsistensi dan kepastian hukum bagi semua, (2) aparat penegak hukum yang bersih dan profesional, (3) tidak adanya intervensi terhadap penegakan hukum, (4) adanya peningkatan pelayanan publik, dan (5) adanya keteladan pejabat publik dalam melaksanakan putusan hukum. "Jika ini tidak diperhatikan maka jangan berharap akan terjadi perbaikan budaya hukum di Indonesia," katanya.
Catatan Keenam, Pemerintahan Jokowi-JK dinilai telah mengancam independensi dan kebebasan pers dengan memblokir beberapa media online Islam tanpa ketelitian, klarifikasi, dan transparansi. Diantaranya arrahmah.com, hidayatullah.com, dakwatuna.com, eramuslim.com, kiblat.net dan media online Islam lainnya. "Cara-cara seperti ini mengingatkan kita kembali ke rezim Orde Baru yang refresif dan otoriter," imbuhnya.
Seharusnya, tambah Muzzammil, Pemerintah memberikan peringatan dan mengundang para pengelola website dan berdialog sebelum diblokir. Tidak serta merta merekomendasikan pemblokiran tanpa tolok ukur yang jelas. Selain itu, perlu melibatkan para ahli, tokoh agama, ormas Islam serta MUI untuk mengetahui apakah konten dalam website itu menyimpang atau tidak dalam ajaran Islam.
Jangan sampai, media yang menyampaikan ayat alquran dan sunah, mengecam kebiadaban Israel dan Barat dianggap radikal. Jika demikian, ke depan eksistensi media informasi dan pendidikan Islam terancam rezim Pemerintahan Jokowi yang menggunakan pasal karet untuk mengebiri umat Islam.
"Demikian evaluasi ini kami sampaikan sebagai oposisi loyal, di luar Pemerintahan. Semoga bermanfaat untuk perbaikan politik, hukum, dan keamanan Indonesia di masa yang akan datang," tandas Muzzammil.
© Copyright 2024, All Rights Reserved