Undang-Undang tentang Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak telah disahkan menjadi Undang undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Protokol Opsional Konvensi Hak-hak anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. Dengan ratifikasi ini, pemerintah Indonesia berkomitmen menentang segala bentuk eksploitasi anak untuk diperdagangkan, prostitusi anak dan pornografi. RUU disahkan menjadi UU pada 23 Juli 2012 bersamaan dengan Hari Anak Nasional.
Disahkannya UU tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah dan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membahas draftnya di parlemen. Kata Ketua Komisi VIII DPR, Ida Fauziyah, dicapainya kesepakatan antara pemerintah dan DPR adalah sebuah kemajuan dalam upaya perlindungan anak di Indonesia.
“Rampungnya UU ini adalah keberhasilan bersama. Tujuannya untuk memberikan perlindungan, memenuhi dan menghormati hak-hak anak di Indonesia dan juga dunia,” ujarnya kepada politikindonesia.com ditemui di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam acara syukuran pengesahan UU tersebut, Jumat (07/09).
Kata politisi perempuan dari Partai Kebangkitan Bangsa ini, disepakatinya UU tersebut, juga menunjukkan adanya kesamaan pemahaman antara pemerintah dan DPR tentang pentingnya memperkuat kerangka hukum dan operasional bagi Indonesia. “Ratifikasi ini diperlukan karena angka perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak semakin tinggi, dalam rangka melindungi anak agar terhindar dari trafficking. Kami tidak ingin angka tersebut naik, kalau perlu jangan sampai terjadi lagi,” katanya.
Kondisi anak-anak di Indonesia harus dilindungi. Saat ini, penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak masih marak. Dan itu, harus dihentikan. Indonesia merupakan pemasok perdagangan anak terbesar di Asia Tenggara. Kebanyakan dari mereka dijadikan pekerja seks. Jumlahnya ditaksir sekitar 200 ribu hingga 300 ribu yang berusia dibawah 18 tahun.
Dengan pengesahan ratifikasi tersebut, sambung Ida, ada payung hukum yang tegas yang melindungi anak-anak Indonesia dari praktik-praktik eksploitasi. UU ini menandai bentuk pelaksanaan tanggung jawab negara untuk melindungi anak Indonesia. “Ini merupakan tanggungjawab bersama. Jadi kini, Undang-undang tersebut menandai bentuk komitmen kita bersama dalam upaya perlindungan anak secara komprehensif dan integratif, dan kesungguhan.”
Dengan UU ini, ada landasan hukum yang lebih kuat bagi kebijakan nasional dalam memerangi tindak pidana penjualan, prostitusi dan pornografi anak. Karena ratifikasi Protokol Opsional ini dapat memberikan dasar legislasi yang kuat untuk pemanfaatan kerangka kerja sama internasional.
“Terutama menyangkut penetapan yurisdiksi atas delik yang diatur. Karena Protokol ini juga mengatur pengaturan ekstradisi otomatis dan mutual legal assistance atas tindak kejahatan yang diatur Protokol," terang Ida.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran Mojokerto, 17 Juli 1969 tersebut mengungkapkan panjang lebar tentang konvensi hak-hak anak dan pentingnya ratifikasi konvensi tersebut bagi indonesia. Panjang lebarm, berikut petikan wawancaranya.
Apa itu Kovensi Hak-Hak Anak?
Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebuah konvensi internasional yang mengatur hak-hak anak, di antaranya sipil, politik, ekonomi, sosial dan kultural anak-anak. Di Konvensi Hak-Hak Anak PBB ada 2 protokol opsional, yaitu Protokol Opsional mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Senjata tentang membatasi keterlibatan anak-anak dalam konflik-konflik militer dan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak yang melarang perdagangan, prostitusi san pornografi anak.
Apakah kedua protokol opsional itu menjadi skala prioritas agenda kerja di DPR?
Kami memprioritaskan untuk menghindari dan melindungi anak-anak Indonesia dari penjualan, prostitusi dan pornografi anak. Saat RUU Ratifikasi Protokol opsional tersebut disampaikan ke DPR sekitar akhir tahun 2011 dan memasuki akhir masa sidang DPR. Jadi pada awal tahun 2012 sidang pembahasan tentang RUU tersebut mulai dibahas di Komisi VII. Untuk menyetujui RUU tersebut, kami tidak membutuhkan waktu lama. Untuk 1 RUU, kami membutuhkan 2 kali masa sidang dan langsung disahkan. Karena kami menyadari, betapa bahayanya tindakan tersebut untuk masyarakat luas.
Pendapat Anda tentang pengesahan RUU tentang Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak?
Kami dan KPP-PA terlibat banyak dalam pengesahan ratifikasi ini. Kami bahagia kini sudah disahkan menjadi UU. Secara keseluruhan pengesahan Protokol Opsional ini akan mempertegas komitmen Indonesia bagi perlindungan anak di tingkat nasional dan global.
Sebagai catatan, saat ini Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak ini sudah ditandatangani oleh 119 negara dan diratifikasi oleh 157 negara. Selain telah memiliki peraturan perundang-undangan dalam hal Perlindungan Anak, Indonesia juga terus berupaya meningkatkan kerja sama secara bilateral, regional dan global untuk meningkatkan jaminan perlindungan bagi anak dari tindak penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak, serta perdagangan orang.
Apa pentingnya Indonesia meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak ini?
Negara-negara yang meratifikasi konvensi internasional ini terikat untuk menjalankannya sesuai dengan hukum internasional. Pelaksanaan konvensi ini diawasi oleh Komite Hak-hak Anak PBB yang anggotanya terdiri dari berbagai negara di seluruh dunia. Setiap tahun, Komite ini memberikan laporan kepada Komite Ketiga Majelis Umum PBB. Selain itu juga akan mendengarkan pernyataan ketua Komite Hak-hak Anak serta mengadopsi resolusi mengenai hak-hak anak.
Ratifikasi ini sangat diperlukan, bukan saja di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Karena tingginya perdagangan anak yang terjadi dan jumlahnya terus mengalami peningkatan. Di tingkat internasional, besarnya fenomena perdagangan anak masih belum diketahui. Refrensi yang masih digunakan adalah estimasi Internasional Labor Organization pada tahun 2002 menyatakan, ada sekitar 1,2 juta anak setiap tahunnya di seluruh dunia menjadi korban perdagangan anak. Bahkan, berdasarkan penelitian Komisoi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan, Indonesia menjadi negara pemasok perdagangan anak terbesar di Asia Tenggara.
Lalu bagaimana implementasi dari undang-undang tersebut?
Semua itu butuh sosialisasi ke masyarakat untuk menghentikan penjualan anak karena angka penjualan anak di Indonesia terus meningkat. Sosialisasinya itu harus tepat pada sasaran sehingga masyarakat itu mengetahui ada ratifikasi, ada undang-undang dan seterusnya. Karena perlindungan pemerintah pada anak harus berwujud nyata dengan pengawasan yang maksimal dengan adanya kontrol dan pengawasan sekaligus. Jadi jangan sampai undang-undang sebagai sebuah undang-undang. Ratifikasi sebagai sebuah ratifikasi. Begitu kita sahkan, lalu tidak bisa berjalan di tataran implementasi, karena pengawasan kurang sehingga kesadaran pelaksana juga kurang.
Sejauh ini, bagaimana pandangan Anda tentang eskploitasi anak di Indonesia?
Sungguh mengkhawatirkan. Sebenarnya persoalan perdagangan manusia, khususnya anak dan perempuan telah mendapatkan perhatian serius sejak krisis moneter 1998. Berbagai kasus yang ada menunjukan, bahwa anak dan perempuan kelompok paling rentan jadi korban perdagangan manusia.
Anak-anak juga diperdagangkan menjadi pembantu rumah tangga, pasangan seksual orang asing yang baru dikenal (dilacurkan). Bahkan mereka dieksploitasi untuk melakukan pekerjaan yang memiliki resiko kekerasan sangat tinggi. Selain itu, bayi dan balita juga diperdagangkan untuk diadopsi secara nasional dan internasional. Sayangnya mereka tak memiliki perlindungan yang memadai karena adanya penerimaan sosial dan lemahnya penerapan hukum.
Di lain sisi terdapat praktik orientasi seksual menyimpang berupa pedofil yang memiliki jaringan internasional. Pelakunya tak hanya melakukan kekerasan kepada anak-anak sebagai korbannya, tapi juga memproduksi pornografi anak untuk diedarkan dan diperjualbelikan secara global melalui situs-situs internet.
Harapan Anda dengan adanya Protokol Opsional tersebut?
Kami berharap perdagangan anak ini bisa dihentikan. Untuk menghentikan perdagangan anak dibutuhkan kerjasama semua pihak terkait untuk melakukan koordinasi dan kerjasama dengan kelompok masyarakat. Jadi hal ini tidak bisa dikerjakan secara sendiri. Karena sesungguhnya kerja kami tidak sampai mengesahkan RUU tersebut menjadi UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. Karena fungsi legislasi itu ada di DPR. Jadi DPR harus bisa merespon dengan cepat keinginan masyarakat luas yang tujuannya untuk menyelamatkan bangsa ini. Saat ini, paling penting bagi kami adalah tak ada lagi cerita-cerita dari para korban-korban tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved