Bersumpah. Adalah salah satu cara yang dilakukan politisi untuk meyakinkan publik dan menepis tudingan melakukan tindak pidana korupsi yang tengah disidik penegak hukum. Mungkin sumpah itu dapat meredakan sementara keraguan publik. Tapi, publik pasti ingat akan sumpah tersebut. Sumpah itu akan diuji seiring pengungkapan kasus korupsi tersebut.
Kira-kira setahun lalu, tepatnya 9 Maret 2012, ketika nama Anas Urbaningrum mulai dikait-kaitkan dalam kasus korupsi Hambalang, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu menegaskan bahwa dirinya tak terlibat. Anas kala itu mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu repot-repot mengurusi kasus Hambalang tersebut karena kasus itu hanya berdasarkan isu yang beredar dari ocehan yang tidak jelas.
Anas menganggap pernyataan mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin yang pertama kali menuding dirinya terlibat dalam kasus itu sebagai ocehan dan karangan semata. “Itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot," ujarnya.
Anas yakin tidak terlibat sama sekali dalam kasus tersebut. Bahkan, ia sempat bersumpah. “Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," ujar Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat, ketika itu.
Sumpah Gantung di Monas itu, jadi statemen fenomenal yang diingat publik kala itu. Ada yang meyakini Anas tidak terlibat karena berani bersumpah seperti itu. Lebih banyak lagi yang berpikir, “kupegang janjimu itu.”
Seiring berjalannya waktu, penyidikan kasus ini di KPK terus bergulir. Lantas pada Jumat, 22 Februari lalu, KPK resmi menetapkan Anas sebagai tersangka atas dugaan menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang.
Pasca penetapan status tersangka itu, publik kembali ingat akan janji Anas tersebut. Memang, kasus ini belum bergulir ke Pengadilan. Tapi, publik mulai bertanya-tanya, masihkah Anas siap digantung di Monas jika nanti Pengadilan menyatakannya bersalah?
Lain Anas, lain pula Bambang Soesatyo. Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Golkar ini tengah diterpa isu tak sedap, soal tudingan keterlibatannya dalam kasus simulator SIM. Namanya disebut oleh Nazaruddin sebagai pihak yang bermain dalam proyek tersebut.
Pasca tudingan Nazaruddin itu, Bambang bersama anggota dan mantan Komisi III DPR lainnya, yakni, Herman Hery, Aziz Syamsuddin, dan Benny K Harman diperiksa KPK pekan lalu terkait kasus itu. Mereka menjadi saksi karena ada dugaan bantuan DPR dalam pelolosan anggaran simulator.
Bahkan, beredar isu bahwa sejumlah politisi Senayan yang kecipratan uang, termasuk Bambang. Bambang disebut-sebut menerima uang Rp1 miliar sebagai imbalan mengurus anggaran proyek pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri itu.
“Kabar itu tidak benar. Saya pribadi siap. Jangankan dipenjara, ditembak matipun akan saya hadapi jika saya melakukan hal yang tidak terpuji itu," ujar Bambang kepada pers, Senin (04/03).
Bambang kembali menegaskan, bahwa Komisi III DPR tidak membahas proyek simulator SIM. Bambang menyebut, di Komisi III DPR seluruh dokumen atau notulen pembahasan dalam rapat-rapat anggaran baik ditingkat komisi III maupun di Badan Anggaran DPR tercatat dan terdokumentasi dengan baik sebagai lembaran negara. Ia juga menyatakan, tidak pernah melakukan pertemuan informal dengan Irjen Djoko Susilo selain yang terjadi di DPR.
“Dapat diteliti di sana. Sama sekali tidak ada pembahasan secara spesifik soal pengadaan driving simulator SIM karena pengadaannya bersumber dari PNBP. Dan jika mengacu pada pasal 5 PP no.73 tahun 1999, dikatakan "Instansi yg bersangkutan dpt menggunakan dana PNBP sebagaimana dimaksud pasal 4 setelah memperoleh persetujuan dari menteri keuangan," ujar dia.
Pernyataan Bambang ini berbeda dengan pernyataan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Dirjen Anggaran Kemenkeu) Herry Purnomo yang juga diperiksa KPK sebagai saksi simulator SIM beberapa waktu lalu.
Herry menyebut, realisasi proyek tersebut lebih besar dari anggaran yang semula diajukan Polri. Ia mengatakan, anggaran yang disahkan DPR bisa lebih besar dari yang semula diajukan Polri karena ada penambahan PNBP yang disetorkan Polri kepada negara.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010, kata Herry, institusi Polri selaku lembaga negara berhak menggunakan 90 persen PNBP yang disetorkannya ke negara untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut.
Herry menyebut, semula PNBP ditetapkan pagunya terlebih dahulu melalui pembahasan antara Kemenkeu dan kementerian/lembaga terkait. Kemudian, data-data yang diperoleh dari pembahasan pagu tersebut dimasukkan dalam RAPBN yang diusulkan pemerintah secara keseluruhan. Selanjutnya, usulan pagu anggaran ini dibahas di DPR melaui nota keuangan. “Dilakukan pembahasan bersama-sama DPR, yaitu kementerian/lembaga dengan komisi terkait. Setelah pembahasan, kemudian dibawa lagi ke Kemenkeu untuk diselesaikan dokumen DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran)-nya. Di situlah terjadinya penelaahan-penelaahan kemudian kami terbitkan dokumen DIPA-nya," ujar Herry.
Jika Herry menyebut ada keterlibatan DPR dalam proses penyusunan anggaran itu, Bambang membantahnya. Namun, dalam perjalanannya nanti, di tangan KPK lah akan jelas, apakah ada keterlibatan DPR dalam kongkalingkong ini. Waktu nanti yang akan membuktikan. Yang pasti, publik tentu akan tetap ingat sumpah Bambang yang siap ditembak mati jika terbukti terlibat korupsi kasus simulator SIM.
© Copyright 2024, All Rights Reserved