Rencana perubahan atas Undang-undang (UU) Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres), saat ini tengah menjadi bahasan serius Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). UU ini sangat strategis, dan menentukan tata cara pencalonan kandidat Presiden mendatang.
Ditengah sejumlah wacana perubahan yang digulirkan sejumlah fraksi di DPR, Partai Golkar justru menilai revisi atas UU Pilpres belumlah mendesak. Aturan pemilihan Presiden yang ada saat ini dianggap masih sangat relevan. UU Nomor 42 tahun 2008 itu masih sangat baik untuk diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang.
Posisi politik Golkar itu tergambar dari pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar Nurul Arifin. Dia berpendapat, sebenarnya UU Pilpres belum perlu direvisi. Berbagai pengaturan dalam UU tersebut masih relevan untuk diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang.
“Saya rasa tidak terlalu mendesak. Karena Beberapa pasal yang perlu penyesuaian, hanya perlu dilengkapi dengan aturan teknis dari Komisi Pemilihan Umum (KPU),” ujar anggota Komisi II DPR ini kepada politikindonesia.com, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (11/10).
Kalaupun, UU tersebut akan direvisi, bagi lulusan pasca sarjana Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Politik ini, haruslah ada keadaan mendesak yang mendasari. Itupun, ia memberikan catatan. Partainya menolak jika revisi itu didompleng untuk kepentingan golongan tertentu.
Salah satu keberatan Golkar adalah soal ambang batas keterwakilan atau lazim disebut Presidential Threshold. “Kalau tujuan revisi itu untuk mengubah aturan ambang batas, kami sangat tidak setuju,” ujar artis yang kini terjun ke dunia politik itu.
Perempuan kelahiran Bandung 18 Juli 1966 itu menyebut, keberatan Golkar bukan tanpa alasan. Ada kekhawatiran soal keinginan beberapa parpol untuk mendompleng agenda revisi UU tersebut untuk mengubah aturan angka Presidential Threshold. “Penolakan kami bukan untuk menjegal Capres tertentu. Tapi, fokusnya para calon itu memiliki tujuan yang sama untuk membangun demokrasi yang baik, walaupun jumlah Capres lebih sedikit," ujar Nurul.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan bernama lengkap Nurul Qomariah Arifin mengungkapkan pendapatnya tentang wacana revisi UU Pilpres yang kini tengah dibahas Komisi II DPR tersebut. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana pendapat Anda tentang revisi UU Pilpres yang kini dibahas DPR?
Saya pribadi beranggapan, UU Pilpres itu belum perlu direvisi. Berbagai aturan dalam UU tersebut masih relevan untuk diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang. Jadi, Golkar merasa belum perlu UU Pilpres itu direvisi.
Pandangan kami, syarat 25 persen suara sah pemilu nasional atau 20 persen kursi DPR sebagai syarat untuk mengajukan calon Presiden sudah cukup baik. Dengan begitu, jumlah capres tidak terlalu banyak.
Saya kira, kalau bisa jumlah Capres di 2014 nanti, jangan lebih dari 5 pasangan. Kalau bisa 4 pasang, malah lebih bagus. Dengan demikian, suara rakyat bisa terfokus pada calon yang memang kapabel dan layak memimpin negeri ini.
Soalnya, jika terlalu banyak calon yang muncul, perbedaan pada program yang diusung juga tidak akan terlalu banyak. Namun yang penting dari pengusungan capres itu adalah program yang dirancang dan siap berkomitmen untuk dilaksanakan.
Sebenarnya, apa alasan DPR hingga UU Nomor 42 Tahun 2008 ini harus direvisi?
Ada beberapa persoalan yang menurut teman-teman di DPR mesti diselaraskan. Seperti mekanisme pemberian hak suara, apakah mencontreng atau mencoblos. Kedua, mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi terhadap Pasal 188 Ayat 2 dan 3, Pasal 228, dan Pasal 255 dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Terutama terkait dengan larangan pengumuman hasil survei, pada masa tenang dan larangan pengumuman penghitungan cepat pada saat hari Pemungutan Suara. Ketiga, perlu adanya sinkronisasi dan konkordansi dengan UU lain.
Tapi sebenarnya dengan adanya persoalan itu, lantas DPR melakukan perubahan, sebenarnya tidak terlalu tepat juga. Tidak ada yang terlalu urgent sehingga harus direvisi. Persoalan-persoalan tersebut sebenarnya bisa dilengkapi dengan aturan teknis dari KPU saja.
Kalau yang substansial dan urgent, kami rasa tidak ada. Kami di Golkar menilai, usulan revisi sifatnya tidak substansial dan tidak terlalu penting. Karena itu, kami menolak merevisi UU Pilpres tersebut.
Kenapa Golkar di posisi tidak setuju UU Pilpres direvisi?
Kami menduga, munculnya dorongan untuk merevisi UU Pilpres, merupakan misi khusus dari parpol menengah dan kecil. Mereka menghendaki agar setiap partai yang masuk parlemen berhak untuk mengajukan pasangan Capres dan Cawapres. Penilaian saya, itu sebuah kemunduran jika sampai benar-benar terealisasi.
Selain itu, kalau masalahnya terkait dengan beberapa hal seperti putusan MK, peralihan tata cara pemberian hak suara dari mencontreng ke mencoblos sebagaimana bunyi pasal 154 UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu, sinkronisasi dan konkordansi dengan UU dan peraturan lain. Maka, saya rasa UU itu tidak perlu dilakukan revisi, tetapi cukup dengan mengaturnya secara teknis dalam peraturan KPU.
Ada anggapan, penolakan Golkar terkait revisi UU ini untuk menjegal Capres tertentu. Apa benar?
Jelas kami membantah anggapan itu. UU adalah aturan yang gunanya untuk menertibkan, bukan untuk jegal-menjegal salah satu Capres yang ingin ikut Pilpres. Tidak ada penjegalan, semua Parpol boleh mencalonkan. Kami pun tidak pernah melakukan pertemuan atau kesepakatan antara anggota partai koalisi untuk menghalau langkah seorang calon untuk maju di Pilpres 2014.
Kadang saya tidak habis pikir, PT 3,5 persen dianggap membunuh partai kecil. Sementara, PT 20 persen menjegal calon tertentu. Saya kira tidak seperti itu. UU Pilpres yang ada saat ini sudah baik dengan PT 20 persen. UU memungkinkan calon-calon yang ada untuk berkoalisi dengan calon-calon lainnya.
Bukankah Presidensial Treshold yang tinggi mempersulit syarat pencalonan Capres?
Sebenarnya usulan angka PT itu tidak ada kaitannya dengan upaya menjegal nama Capres tertentu. Golkar memandang UU yang ada sekarang sudah sangat baik. Adanya kesepakatan sejumlah fraksi agar PT minimal 20 persen atau lebih adalah sebagai upaya untuk mendapatkan Capres terbaik. Dengan angka PT sebesar 20 persen, partai-partai pengusung bisa berkoalisi mengusulkan Capres dan Cawapres.
Tapi, Golkar juga tidak menutup pembicaraan dengan fraksi lain yang menginginkan adanya kenaikan persyaratan. Sampai saat ini, Golkar masih fleksibel terhadap aspirasi beberapa fraksi yang ingin menurunkan besaran angka pengajuan capres. Makanya kami belum membuat naskah perubahan.
Bagaimana dengan Capres yang diajukan Golkar sendiri?
Jika berbicara mengenai sosok Capres, kami tidak perlu terlalu banyak memunculkan alternatif. Figur yang disodorkan partai, sudah pasti kader terbaik. Kami semua mendukung pencalonan Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar untuk maju di ilpres 2014 mendatang. Bagi kader yang tak mau mendukung keputusan itu akan dikenakan sanksi disiplin organisasi.
Ada survei yang menyebut, elektabilitas Partai Golkar berada di posisi teratas, tapi capres Aburizal berada di posisi 3. Bagaimana anda melihat hal ini?
Memang ada survei yang menyebut elektabilitas Golkar berada di posisi teratas diangka 20,9 persen. Sementara, Capres yang kami ajukan berada di posisi ketiga dengan angka 17,5 persen. Di atasnya ada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri (18,3 persen) dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (18 persen).
Tapi Pilpres kan masih 2 tahun lagi. Masih ada waktu untuk meningkatkan elektabilitas itu. Hasil survei itu kami tanggapi dengan meningkatkan pendekatan ke masyarakat di seluruh Tanah Air. Hal itu menjadi penting agar Capres yang kami dukung lebih tersosialisai dan dekat dengan masyarakat. Semoga masyarakat dapat lebih objektif menilai Ketua Umum kami.
© Copyright 2024, All Rights Reserved