Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPP Izin Pesisir dan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan mengancam keberadaan nelayan dan masyarakat pesisir. Pasalnya, privatisasi melalui pemberian Hak Menguasai Negara kepada investor asing dalam bentuk izin akan mengusir dan menggusur nelayan dan masyarakat pesisir setempat.
Demikian pernyataan pers Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang menyoal RPP tersebut.
KIARA dalam rilisnya yang diterima politikindonesia.com, Jumat (17/04), menyebutkan, terdapat 4 alasan keberatan atas RPP yang jelas dibuat hanya untuk memberikan karpet merah bagi investasi modal untuk menguasai (privatisasi) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pertama, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU – VIII/2010 Tanggal 16 Juni 2011 yang membatalkan pasal-pasal terkait HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir), UU No. 1 Tahun 2014 tentang Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak sejalan dengan pertimbangan hakim. Dalam pertimbangan Hakim Kontitusi secara tidak langsung mendeklarasikan pengakuan hak-hak nelayan tradisional, yaitu mengakses, memanfaatkan dan mengelola lingkungan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta hak untuk mendapatkan sumber daya yang bersih dan sehat sehingga RPP ini pada dasarnya telah salah dari dasar pikiran pembuatannya.
Kedua, tidak adanya perlindungan terhadap nelayan tradisional skala kecil serta masyarakat lokal. Hal ini dilihat dari tidak adanya pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hak-hak nelayan tradisional skala kecil dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Jikapun ternyata di kemudian hari terjadi pelanggaran hak oleh pemegang izin tidak ada sanksi yang jelas atas pelanggaran tersebut. Hak akses minim yang telah diakui Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pun tidak dilindungi oleh RPP tersebut.
Ketiga, melanggar UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai peletak prinsip dasar pengelolaan atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. RPP ini bertentangan terhadap prinsip penguasaan tanah yang mengakui masyarakat yang telah mengelola secara turun-temurun.
Keempat, menabrak Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil FAO 2014, di mana Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam pembahasannya. VGSSF telah memberikan pedoman untuk melindungi nelayan skala kecil melalui tujuh aspek, yaitu (1) Perlindungan Hak Penguasaan (hak tenurial) atas sumber-sumber penghidupan; (2) Pembangunan sosial, ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak; (3) Mata rantai perdagangan yang adil; (4) Pengembangan kapasitas; (5) Keadilan Gender; (6) Perlindungan terhadap resiko bencana dan perubahan iklim; (7) Pengelolaan Berkelanjutan.
Negara seharusnya tidak memainkan peran seperti pengusaha, usahawan atau ordernemer (dalam bahasa Belanda) yang mengedepankan profit/rente, melainkan memfasilitasi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil untuk mendapatkan akses pemenuhan hak-hak konstitusionalnya untuk hidup adil, makmur dan sejahtera. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 justru menjadi alat penghisapan masyarakat lemah, seperti nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, oleh orang yang bermodal/investor.
© Copyright 2024, All Rights Reserved