Sepanjang 15 tahun terakhir ini, sepak terjang pengacara Adnan Buyung Nasution sepertinya, lebih banyak menjadi beban ketimbang solusi buat bangsa ini. Telah berkali-kali terjadi, semenjak tak lagi menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), ABN ikut hanyut dalam situasi yang tidak bisa membedakan antara fakta dan opini.
Kalau boleh melihat ke belakang, masalah terberat ABN adalah melakukan negosiasi terhadap koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menjadi pengacara adalah jalan yang legal dan memiliki argumentasi hukum untuk bernegosiasi dengan koruptor. Imbalannya, tentu bayaran tinggi dari koruptor itu.
Kini, ABN seolah lepas tangan dan tidak pernah menyesal, meski perannya sebagai pengacara, langsung atau tidak langsung, ikut andil membuat pengemplang BLBI itu melarikan diri hingga kini ke luar negeri.
Bukan itu saja, sebagai orang tua, ABN juga seolah tak berdaya dalam mencegah anaknya melakukan tindak pidana korupsi. Agak mengherankan, ABN yang selama ini bergelut di bidang hukum tidak sensitif dan "kecolongan" terhadap perkembangan anaknya sehingga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Dengan berbagai dalih, ABN terus membela koruptor "gemuk". Gayus Tambunan, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, dan terakhir Anas Urbaningrum.
Terhadap ketiga orang terakhir ini, ABN membungkus alasannya dengan kata-kata, “agar mereka berterus terang.” Agak mengherankan juga, ketiga orang ini percaya pada pengacara, yang gagal mencegah anaknya berbuat korupsi.
Dalam kasus Wawan, ABN mati-matian membela sampai hendak membubarkan KPK. Sedangkan, dalam membela Anas, ABN menyempatkan diri untuk memanfaatkan kasus ini untuk menyerang Presiden.
Apakah Presiden tidak boleh diserang secara politik? Selama 9 tahun lebih ini, sepertinya isi politik kita yang dinamis adalah serangan dan cacian tanpa henti kepada Presiden. Tapi, hal itu disadari sebagai dinamika demokrasi.
Presiden dihadapan rakyat saat mensikapi Paripurna DPR terkait Bank Century telah menjelaskan dengan terang benderang, apa yang terjadi saat bailout tersebut. Posisinya juga jelas terhadap kebijakan Century itu. Bahkan, Presiden juga menyampaikan pembelaannya secara terbuka kepada kebijakan yang telah diambil Sri Mulyani dan Boediono itu.
Sebagai Kepala Negara, SBY menyatakan, silahkan aparat hukum melakukan secara optimal apakah ada tindakan yang melanggar hukum, terindikasi korupsi dan lainnya terkait kasus itu.
Paripurna DPR hak angket Century tak mampu menunjukkan tindak pidana korupsi dalam kasus itu, karena memang mereka bukan tugasnya. Sedangkan Tim Pengawas Century, hanya pepesan kosong yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan politik oknum-oknumnya. KPK sudah dan sedang bekerja maksimal.
Seluruh mekanisme hukum sudah dijalankan dalam mengungkap apakah ada kejahatan korupsi dalam kebijakan bailout tersebut. Kalau Sri Mulyani dan Boediono saja sudah menyatakan kondisi yang sebenarnya saat pengambilan kebijakan itu, mengapa justru ABN membuat opini sesat yang memutarbalikkan fakta?
Saya punya keyakinan, Anas Urbaningrum adalah orang yang tidak paham seluk beluk kasus century dan sejak awal berposisi bahwa kasus itu adalah politisasi. Kalau misalnya sekarang Anas mengaku tahu banyak soal Century, dugaan yang timbul justru, ada pihak lain yang memaksa Anas bersikap agar “seolah-olah” tahu banyak soal Century. Pengacaranya tentu punya pengaruh itu.
Soalnya, saat Kasus Century merebak, Anas sempat kaget waktu saya tanya, apakah dia sudah membaca audit BPK. Saat itu Anas mengatakan, dia hanya tahu ringkasan setebal 29 halaman itu saja.
Kegagalan terbesar Anas dalam meyakinkan kebenaran bailout Century adalah karena dia tidak memahami dan menganggap angket Century hanya politisasi, bukan mencari kebenaran.
KPK tidak perlu pula gentar terhadap sepak trjang eABN. Gertak sambal adalah ciri khas politiknya untuk menutupi kelemahannya di tempat lain. Meski banyak yang menduga, ABN mungkin dendam karena KPK pernah menetapkan status tersangka terhadap anak kandungnya, saya berpendapat lain.
Bisa jadi, ABN telah mendengar bahwa KPK sedang menyelidiki kasus besar yang bukan tidak mungkin akan menyeretnya. Hati kecil saya menyatakan, ABN sedang galau. Bagaimana misalnya kalau pengemplang BLBI yang dibiarkannya lari ke luar negeri kembali tertangkap. Saat ini, ada tren buronan besar tertangkap di negeri ini. Kalau KPK serius menyelidiki BLBI, bukan tidak mungkin ABN adalah orang yang layak menjadi terperiksa.
Barangkali, faktor ABN inilah yang membuat Anas kini banyak berubah dalam mensikapi kasus hukum dan cara berpolitiknya. Hal itu juga tidak terlalu mengherankan. Kalau pengemplang BLBI kelas kakap saja dikendalikan, apalagi Anas, Gayus dan Wawan. Bukan hanya koruptor musuh bangsa ini. Mereka yang mencari keuntungan dari koruptor, jauh lebih berbahaya.
Andi Arief, Staf Khusus Presiden
© Copyright 2024, All Rights Reserved