Analisis DR. Firdaus Ali dari Universitas Indonesia yang memprediksi bahwa Jakarta akan mengalami banjir yang lebih parah dibandingkan tahun 2007 pada 27 Januari mendatang dibantah oleh Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Prof Dr Thomas Djamaluddin. Purnama pada 27 Januari yang menyebabkan pasang laut, diperkirakan tidak akan sampai “menenggelamkan” Jakarta, karena semakin melemahnya curah hujan.
“Berita yang menyebut 27 Januari Jakarta bisa tenggelam karena saat itu sedang purnama, agak seram. Tetapi tampaknya tidak terjadi,” ujar Thomas, Senin (21/01).
Thomas menjelaskan, data satelit cuaca menunjukkan Monsoon Index Australia yang menjadi penyebab utama berkumpulnya awan di sekitar Jakarta pada pertengahan Januari mulai melemah. Demikian pula aktivitas pembentukan awan di Indonesia juga mulai tertekan, sehingga peluang untuk curah hujan kumulatif yang tinggi, semakin menurun.
Monsoon (muson) adalah suatu pola sirkulasi angin yang berhembus secara periodik pada suatu periode (minimal 3 bulan) dan pada periode yang lain polanya akan berlawanan. Di Indonesia dikenal dengan 2 istilah yakni muson Asia dan muson Australia.
Thomas membenarkan, efek bulan purnama memang akan meningkatkan pasang air laut karena gravitasi bulan-matahari bersatu, namun purnama adalah peristiwa biasa yang terjadi setiap bulan. “Masalah akan timbul kalau puncak pasang itu bersamaan dengan curah hujan kumulatif yang tinggi di Jakarta dan sekitarnya, sehingga air tertahan di daratan.”
Ia menjelaskan, dari pantauan data satelit itu, diperkirakan tak ada curah hujan kumulatif yang tinggi pada 27 Januari seperti pertengahan Januari lalu. “Jakarta diperkirakan akan normal-normal saja,” ungkapnya.
Thomas juga menjelaskan peristiwa banjir yang melanda ibukota pada Kamis, 17 Januari lalu. Ia menjelaskan, indikasinya bisa dilihat dari data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) yang menunjukkan curah hujan secara kumulatif selama 3 hari cukup tinggi di sekitar Jakarta dan Bogor.
Pola angin di sekitar Jakarta pada pagi 17 Januari, menjelaskan mengapa awan cenderung berkumpul di sekitar Jawa bagian Barat. “Tampaknya pertemuan angin dari Utara dan Selatan yang dipengaruhi daerah tekanan rendah di Selatan Sumatera mampu menahan awan tebal bertahan lama di sekitar Jawa bagian Barat. Dampaknya hujan berkepanjangan yang secara kumulatif cukup untuk membanjiri Jakarta,” katanya.
Sedangkan faktor pasang air laut juga menjadi penguat, dimana pada 17 Januari, air laut pasang pada pagi hari yang puncaknya pada pukul 07.45 WIB dan baru surut sore hari. “Dampaknya, air hujan yang melimpah pada malam dan pagi hari tidak bisa terbuang ke laut secara cepat. Air yang terhambat kemudian menggenangi wilayah-wilayah yang lebih luas. Hambatan juga diperparah oleh rusaknya lingkungan,” katanya.
Penurunan Tanah
Sementara itu, Assisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Erick Rizky, mengungkapkan, ada hal yang luput dari perhatian tentang penyebab terjadinya banjir di ibukota Jakarta selama ini. Selain curah hujan yang tinggi dan kurang tersedianya ruang terbuka atau tanah resapan, banjir Jakarta juga disebabkan akibat penurunan muka tanah (land subsidence) wilayah Jakarta.
“Penurunan muka tanah ini bervariasi di setiap titik di seluruh Jakarta, antara 5 cm sampai 10 cm per tahun,” kata Erick Rizky, Jumat (18/1). Menurut data yang dimiliki pihaknya, titik terbanyak rawan genangan dan penurunan muka tanah berada di wilayah Jakarta Utara sebanyak 26 lokasi.
Erick membeberkan catatan penurunan muka tanah yang terjadi di Indonesia. Seperti yang terjadi pada September 2011 di Jalan Pluit Indah Raya, tepat di depan Mega Mall Pluit, Jakarta Utara, yang membentuk lubang berdiameter sekitar 1 meter lebih dengan kedalaman hampir 2 meter.
Juli 2011, tanah di kawasan Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, 21 rumah penduduk di RW 4 Kelurahan Rawajati rusak berat. Kemudian pada 16 September 2010 jalan Raya RE Martadinata yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara menuju arah Kota pun amblas sedalam 7 meter dengan panjang patahan sekitar 103 meter. Penurunan muka tanah juga disebabkan pengikisan air laut.
Pada 2008, sejumlah bangunan di Jakarta juga mulai ambles. Sebut saja gedung Sarinah dan gedung Badan Pengkajian dan Penyerapan Teknologi (BPPT) di Jalan MH Thamrin. Selain itu kawasan rawan lainnya adalah segitiga Kuningan dan Sudirman Central Bussines District (SCBD).
Penurunan muka tanah ini diakibatkan meningkatnya intensitas pembangunan properti di kawasan bisnis itu sejak 2007. Bangunan miring atau retak di Jakarta disebabkan struktur tanah tidak terkonsolidasi sehingga terdapat rongga. Rata-rata penurunan muka tanah mencapai 10 cm per tahun.
“Titik terbanyak rawan genangan dan penurunan muka tanah berada di wilayah Jakarta Utara sebanyak 26 lokasi. Dari periode 1982-1997 mencapai 20 cm dalam waktu 15 tahun. Periode 1997-2007 mencapai 18-26 cm dalam waktu 10 tahun,” ujar dia.
Erick juga menyebut data Konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) menyebut pada periode 1974-1990, land subsidence di wilayah utara Jakarta sekitar 3-5 cm per tahun. Beberapa studi dan pengamatan belakangan menunjukkan angka yang lebih besar. “Di Jakarta Utara diindikasikan terjadi land subsidence sekitar 5-10 cm per tahun.”
Dalam kurun waktu 1974-2010, telah terjadi penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta hingga 4,1 meter. Ini khususnya terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Penurunan serupa juga terjadi di sejumlah wilayah lain, seperti di Cengkareng Barat setinggi 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter, dan Cibubur 0,25 meter. Ada 7 jembatan ambles, yakni jembatan Kamal Muara, Mangga Dua, Ancol, Pluit, Pantai Mutiara, Gunung Sahari dan Mangga Besar.
Sementara itu, dari data 1982-1991 penurunan permukaan tanah terbesar terjadi di lokasi Cengkareng dengan laju penurunan 8,5 cm per tahun. Pada 1991- 1997 terjadi di Kwitang dengan laju penurunan 14,8 cm per tahun, 1997-1999 terjadi di Daan Mogot dengan laju penurunan 31,9 cm per tahun. Dari data tinggi hasil pengamatan GPS Desember 1997- Juni 1999, penurunan terbesar terjadi di Pantai Indah Kapuk dengan laju penurunan 11,5 cm per tahun. Juni 1999-Juni 2000, masih di Pantai Indah Kapuk dengan laju penurunan 10,4 cm per tahun. Juni 2000-Juni 2001 terjadi di Daan Mogot dengan laju penurunan 34,2 cm per tahun, Juni 2001-Oktober 2001 terjadi di Rukindo-Ancol dengan laju penurunan 23,7 cm per tahun.
© Copyright 2024, All Rights Reserved