Semua orang pasti akan merasakan kesedihan ketika ditinggal orang yang paling disayangi. Pasangan hidup, misalnya. Bahkan, ada yang merasa tak bisa hidup tanpa belahan jiwanya. Hal seperti itu, pernah dirasakan Magdalena Sitorus, istri almarhum Mantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan.
Tapi, Magdalena tidak ingin larut dalam kesedihan. Ia berusaha bangkit dan mengisi sisa hidup ini dengan berbagai aktivitas. “Salah satunya dengan menulis. Dari hobi menulis ini, saya berhasil menyelesaikan buah buku. Salah satu diantaranya adalah buku yang berjudul "Semua Ada Waktunya", kata Magdalena kepada politikindonesia.com, seusai acara soft launching buku tersebut di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (30/10).
Dijelaskan perempuan kelahiran Sumatera Utara, 21 Oktober 1952 ini, buku “Semua Ada Waktunya” menceritakan tentang ketangguhan 6 perempuan untuk berbagi kisah tentang proses meniti rasa kehilangan dari pasangan hidupnya. Selain itu, memaknai rasa duka serta perjuangan melewati masa tersebut yang tidak lepas dari benturan-benturan budaya.
Ada kisah 6 perempuan tangguh yang diceritakan mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia ini dalam buku tersebut. Selain tentang dirinya, ada juga cerita tentang Saparinah Sadli (pendiri Komnas Perempuan, istri Alm. Prof. Sadli), Shinta Nuriyah Wahid (pendiri Puan Amal Hayati, istri Alm. Abdurrahman Wahid), Suciwati Munir (perempuan pembela HAM, istri Alm. Munir), Widyawati (pekerja seni pertunjukan, istri Alm. Sophan Sophian) dan dan Damayanti Noor (istri Chrisye).
Perempuan yang akrab disapa Magda ini menerangkan, kegiatan peluncuran buku ini didekasikan untuk mengenang 2 tahun almarhum Asmara Nababan, sosok pejuang HAM yang dekat di hati banyak orang, khususnya komunitas korban. Hasil penjualan buku ini akan disumbangkan Pundi Perempuan, wadah dana publik yang khusus untuk mendukung pemulihan perempuan korban kekerasan. Pundi Perempuan digagas Komnas Perempuan pada tahun 2001 dan sejak 2003 menggandeng IKA untuk mengembangkan dan mengelolanya. “Semoga dengan mengenang kepergiannya, komitmen kita tetap kuat untuk melanjutkan perjuangannya,” tegasnya.
Kepada Elva Setyaningrum, Magda menceritakan dorongan yang membuatnya memutuskan menulis buku. Ia berharap, pengalamannya serta beberapa tokoh perempuan lain bangkit dari kesedihan atas kehilangan pasangan hidup dapat menjadi motivasi bagi orang lain yang mungkin mengalami kejadian serupa. Berikut petikan wawancaranya.
Menurut Anda, apa itu kesedihan?
Kesedihan adalah perasaan personal yang rasanya tidak bisa dirasakan sama karena persoalan kehilangan. Itu semua tergantung individunya. Apalagi, bagi saya pasangan hidup adalah relasi yang begitu dekat, seperti teman, pacar dan sahabat. Lalu tiba-tiba sosok itu tidak ada. Jadi kesedihan itu, tergantung dari kita dan bagaimana kita bisa mengatasi kesedihan itu.
Anda bilang, kesedihan itu menjadi motivasi Anda menulis buku ini?
Awalnya saya tidak mempunyai motivasi sama sekali. Lalu ketika menulis catatan harian, saya kepikiran untuk dibukukan. Kemudian, pemikiran itu terus berkembang. Tapi saya belum punya pengalaman. Hingga akhirnya saya bisa bekerjasama dan meminta dukungan dengan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Setelah dukungan itu saya dapatkan sepenuhnya, saya mencoba merumuskan lagi apa yang saya tulis setiap hari. Semua itu dasarnya dari catatan harian saya. Jadi isi buku ini merupakan catatan harian saya karena saya suka sekali menulis diary. Tapi intinya, buku ini saya tulis, bukan untuk menggali kesedihan saat ditinggalkan oleh orang-orang yang saya sayangi.
Bisa cerita, bagaimana Anda bisa mengajak tokoh perempuan-perempuan lain untuk berbagi kisahnya?
Saya sangat sulit mengatasi kehilangan suami. Memang tidak semua orang bisa mengatasi kehilangan orang yang dicintainya. Lalu semua itu saya tuangkan dengan tulisan. Saya pun meminta teman-teman untuk menuangkan hal yang sama untuk saya jadikan sebuah buku.
Sebetulnya, saya memiliki list nama banyak sekali. Tapi nama-nama itu saya pilih-pilih lagi. Nah, mereka yang terpilih, lalu saya lakukan pendekatan. Karena mereka memberi respon yang baik. Tidak terlihat bentuk penolakan. Hal ini justru membuat saya ketakutan sendiri. Saya harus buat yang terbaik dan tidak manipulatif agar saya bisa mempresentasikan apa yang mereka ceritakan ke dalam bentuk tulisan yang baik dan benar.
Ada alasan mengambil judul "Semua Ada Waktunya"?
Saya juga tidak tahu persis. Tapi ketika menulis, saya tidak mengarang tapi beberapa kata dibelakang kalimat “Semua Ada Waktunya”. Saya pikir ini bisa dijadikan judul. Judul itu juga menjadi bahan pembicaraan dengan teman-teman. Ada yang mengatakan, “Semua Ada waktunya” itu pasaran. Ada juga yang mengusulkan judul “Lembaran Baru” atau judul lain. Tapi ketika saya baca lagi tulisan itu pelan-pelan, memang kata "Semua Ada Waktunya" ini menjadi benang merah untuk tulisan bagian lainnya yang bisa dijadikan judul buku ini sebagai nilai jualnya.
Apa yang Anda rasakan ketika menulis kisah Anda sendiri?
Dalam proses penulisan buku ini ada masa dimana saya benar-benar sedih. Masa dimana, tiba-tiba kacamata ini berembun hingga akhirnya saya harus berhenti hingga waktu yang cukup lama. Karena saya harus menata kembali hati saya yang sedang sedih. Bahkan, saya pernah istirahat selama sebulan untuk tidak menulis lagi. Tapi setelah semangat menulis itu datang lagi, saya pun menulis lagi dan meneruskan cerita kisah saya yang tertunda. Keadaan ini, bukan membuat saya tidak ikhlas, tapi rindu saya tidak akan pernah habis.
Apa yang mendorong Anda untuk bangkit dari kesedihan setelah kehilangan pasangan?
Saya ini sebenarnya tidak percaya diri, apakah saya bisa bangkit atau tidak. Tapi kita manusia ini punya perjalanan hidup sendiri-sendiri. Walau kita sebagai mahluk sosial yang tidak lepas dari bantuan orang lain. Jadi kita sebenarnya bisa mengatasi kesedihannya itu sendiri karena hanya kita yang bisa memahami kesedihan tersebut.
Dalam hal ini, saya punya anak-anak, kawan dan keluarga yang sangat berpengaruh untuk bangkit dan berucap, hidup ini harus tetap berjalan. Selain itu, dengan adanya kesibukan, kita bisa melupakan kesedihan, tapi bukan melupakan untuk selama-lamanya.
Adakah tips yang bisa Anda berikan untuk menghibur orang yang kehilangan pasangannya?
Seperti yang saya katakan tadi, kalau kesedihan adalah personal. Jadi untuk mengatasi kesedihan itu adalah pribadi karena tidak ada teorinya. Belum tentu, dengan kita hibur orang itu kesedihannya akan hilang. Karena ini adalah masalah perasaan. Mengapa saya begitu bersemangat menulis buku ini? Karena saya melihat kebiasaan dan budaya masyarakat kita justru tidak mendukung orang yang mengalami kesedihan seperti saya. Memang maksud mereka baik untuk menghibur supaya jangan sedih, tapi terkadang karena mereka tidak mengalami jadi mereka tidak merasakan apa kesedihan yang kita alami ini. Jadi orang yang sedih itu memang butuh dukungan dari orang lain, tapi tidak untuk menghakimi. Jadi kesedihan itu tidak bisa dilihat dari permukaan tapi hanya dia yang bisa merasakan kesedihan itu. Sesuatu yang tidak kita pahami seharusnya jangan dikasih komentar. Dikhawatirkan, jalan keluar yang kita berikan jadi salah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved