Sepanjang tahun 2015, industri kelapa sawit nasional menghadapi banyak tantangan. Terutama karena harga minyak sawit (CPO) di pasar internasional terus mengalami penurunan. Tertekannya harga CPO disebabkan harga minyak dunia yang terus merosot.
Demikianlah kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, mengatakan, harga rata-rata CPO sepanjang tahun 2015 dikisaran US$600 per metrik ton (MT). Padahal tahun-tahun sebelumnya CPO berada dikisaran US$800 per MT. Sepanjang tahun 2015, nilai ekspor CPO mengalami penurunan 11,67 persen.
Bicara kepada politikindonesia.com usai kegiatan Refleksi Industri Sawit 2015 dan Prospek 2016, di Jakarta, Rabu (20/01), Joko mengatakan, nilai ekspor CPO sepanjang 2015 mencapai US$18,64 juta. Meskipun volume ekspor mengalami kenaikan, tapi nilai ekspornya terus mengalami penurunan dibanding dengan tahun 2014 mencapai US$21,1 juta.
Penurunan nilai ekspor tersebut disebabkan jatuhnya harga minyak mentah dunia yang sempat menyentuh level US$30 per barel.
"Harga rata-rata CPO tahun 2015 sebesar US$614,2 per MT. Harga rata-rata itu turun sebesar 25 persen dibandingkan dengan harga rata-rata 2014 yaitu US$818,2 per MT. Sehingga secara otomatis ekspor CPO dan turunannya tidak dikenakan bea keluar karena harga rata-rata CPO di bawah US$750 per MT yang merupakan batas minimum pengenaan bea keluar," ungkapnya.
Ditambahkannya, berdasarkan data yang diolah pihaknya, total ekspor CPO dan turunannya asal Indonesia tahun 2015 mencapai 26,40 juta ton atau naik 21 persen dibandingkan ekspor tahun 2014 yang sebanyak 21,76 juta ton. Adapun produksi CPO dan turunannya 2015 mencapai 32,5 juta ton. Angka ini naik 3 persen dibandingkan total produksi tahun 2014 yang hanya mencapai 31,5 juta ton.
"Kami juga memprediksi prospek industri minyak sawit 2016 ini masih belum bagus. Selain itu, ekspor sawit akan sama dengan tahun 2015. Bahkan bisa berpotensi turun kalau penurunan harga minyak dunia terus berlanjut. Sebab kondisi itu akan memukul pengembangan biodiesel di dalam negeri yang ditargetkan 4 juta kiloliter," paparnya.
Joko memaparkan, harga CPO sulit naik karena harga minyak dunia yang terus anjlok. Apabila harga minyak mentah semakin anjlok, dikhawatirkan harga CPO akan jatuh lebih dalam. Karena tren minyak mentah susah untuk naik. Kemungkinan harga CPO akan membentuk ekuilibrium baru. Harga CPO tidak jauh bergerak dari US$500-600 per barel.
"Industri kelapa sawit pun diminta melakukan efisiensi untuk menjaga produksi. Kami tidak bisa lagi berharap harga CPO naik signifikan. Industri harus melakukan konsolidasi, melakukan upaya efisiensi menjaga produktivitas. Oleh karena itu, kami meminta agar pemerintah kembali mengevaluasi kebijakan biodiesel. Ini implikasinya besar terhadap subsidi," tandasnya.
Diungkapkan, saat ini India, negara Uni Eropa dan Tiongkok masih merupakan pengimpor terbesar CPO dari Indonesia. Sepanjang tahun 2015, volume ekspor CPO Indonesia ke India menjadi 5,8 jutw ton atau naik 15 persen dibandingkan tahn lalu sekitar 5,1 juta ton. Sementara itu, ekspor ke negara-negara Uni Eropa mencapai 4,23 juta ton. Angka tersebut menunjukan kenaikan sekitar 2,6 persen dibandingkan angka ekspor tahun lalu.
"Bahkan, Tiongkok secara mengejutkan mencatatkan kenaikan permintaan minyak sawit sepanjang tahun 2015, yaitu sebesar 64 persen, dari 2,43 juta ton pada 2014 menjadi 3,99 juta ton pada 2015. Sehingga peningkatan permintaan CPO yang cukup signifikan sepanjang tahun 2015 permintaan Amerika Serikat sebesar 59 persen atau 758,55 ribu ton dibandingkan tahun lalu hanya 477,23 ribu ton," imbuhnya.
Melihat kondisi tersebut, lanjut Joko, pihaknya pun mencoba membidik Pakistan sebagai salah satu tujuan utama ekspor CPO tahun 2016. Sebab, pada 2015 ekspor CPO ke Pakistan dari Indonesia cukup besar, yaitu 2,19 juta ton pada tahun 2015. Angka ini naik 32 persen dari angka ekspor CPO pada 2014. Bahkan, bisa diperkirakan hingga 4 tahun ke depan permintaan CPO di Pakistan bisa menembus 3,5 juta ton.
"Pakistan itu merupakan pasar masa depan. Sehinga harus menjadi prioritas pemerintah untuk menjaga hubungan government to government. Apabila, Indonesia berhasil merebut pasar Pakistan dari Malaysia. Pakistan mengimpor 2,19 juta ton dari Indonesia, sedangkan mereka mengimpor 500 ribu ton CPO dari Malaysia," tuturnya.
Pada kesempatan itu, disayangkan Joko, karena untuk volume ekspor minyak kelapa sawit ke negara Timur Tengah pada 2015 mengalami penyusutan hingga 8 persen dibandingkan dengan tahun 2014. Yaitu dari 2,29 juta ton pada 2014 menjadi 2,11 juta ton pada 2015.
"Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan permintaan adalah jatuhnya harga minyak dunia yang secara otomatis menganggu finansial negara penghasil minyak. Sehingga membuat daya beli ikut melemah," tandas Joko.
© Copyright 2024, All Rights Reserved