Mantan Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Yusuf Erwin Faishal, menyatakan, keputusan melanjutkan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) bukan karena pengaruh pemilik PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo. Keputusan tersebut sesuai permohonan Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
“Kami (DPR) ambil keputusan sesuai dengan permohonan Kemenhut, bukan faktor Anggoro,” ujar Yusuf usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (12/02) malam. Yusuf diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi terkait proses pengajuan anggaran SKRT dengan tersangka Anggoro.
Yusuf beralasan, rencana proyek SKRT sengaja diadakan lagi untuk mendukung sarana polisi hutan dalam mengawasi pembalakan liar atau illegal logging. Sebab, illegal logging disinyalir telah merugikan negara sebesar Rp6 triliun sampai Rp10 triliun.
Yusuf menyebut, inisiatif menghidupkan kembali proyek SKRT itu berasal dari Menteri Kehutanan saat itu MS Kaban. “Itu keinginan Menhut, bahwa untuk mengawasi illegal logging dan kebakaran hutan, kita perlu sistem komunikasi. Pada saat itu handphone belum canggih,” ujar dia.
Yusuf menganggap tidak ada yang salah dengan keputusan melanjutkan proyek SKRT. Menurutnya, kesalahan itu hanya ada pada anggota Komisi IV DPR periode saat itu yang menerima uang dari Anggoro. “Jangan keputusan itu dipersalahkan, yang disalahkan adalah anggota dewan yang menerima hadiah. Itu salah, oke," ujarnya.
Yusuf adalah Ketua Komisi IV DPR, yang membidangi sektor kehutanan, saat keputusan proyek SKRT dibuat. Ia bersama anggota Komisi IV DPR saat itu, yakni Azwar Chesputra, Al-Amin Nur Nasution, Hilman Indra, dan Fachri Andi Leluas, telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka disebut menerima uang dari Anggoro. Kasus ini juga menjerat adik Anggoro, Anggodo Widjojo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved