Ada beberapa zona patahan-patahan di Indonesia yang dapat diklasifikasikan sebagai "seismic gap". Seismic gap adalah zona patahan yang diketahui keaktifannya (dapat mengeluarkan gempa) tapi sudah lama tidak terjadi gempa di lokasi tersebut. Artinya, ada kemungkinan segmen gempa tersebut sudah mengakumulasi energi gempa yang besar. Setidaknya, ada 9 titik seismic gap yang perlu mendapat perhatian serius.
Disepanjang kawasan Sumatera hingga Selat Sunda, ada 3 Seismic Gap yang perlu mendapat perhatian utama karena berada pada zona megathrust. Pertama Segmen Simeulue yang cukup banyak juga data penelitiannya, sehingga kita dapat perkirakan bahwa setelah melepaskan rentetan gempa besar mulai tahun 2004 di segmen ini masih tersisa tabungan energi gempa atau regangan tektonik dengan potensi ~ 8 Skala Richter (SR).
Sedangkan titik kedua adalah Segmen Mentawai. Segmen ini adalah yang paling detil diteliti sehingga paling banyak datanya. Segmen Mentawai ini sudah terbukti secara ilmiah statusnya berada diakhir siklus gempa.
Berbagai gempa-gempa besar yang bertubi-tubi terjadi disekitar Segmen ini akan membuat Segmen Mentawai semakin dekat ke “waktu ledak”-nya karena stress (tekanan) pada zona patahan ini akan makin tinggi.
Sedangkan segmen ketiga, adalah Megathrust Selat Sunda-Selatan Jawa. Segmen ini tidak banyak datanya kecuali diketahui bahwa patahan/batas lempeng ini berpotensi untuk mengakumulasi regangan tektonik sampai 9 SR. Selama beratus-ratus tahun, tidak ada catatan pernah terjadi gempa besar di segmen Selat Sunda ini.
Walaupun Segmen Selat Sunda secara ilmiah ancaman bahaya-nya belum terdefinisi dengan baik, tapi sangat penting untuk diwaspadai mengingat wilayah ini amat sangat vital, khususnya bagi DKI Jakarta, dari sudut populasi, investasi, dan bank informasi serta infrastruktur-infrastruktur negara yang sangat vital.
Anaman dari patahan Simeulue, Mentawai dan Selat Sunda ini kini menjadi bertambah tinggi setelah gempa besar yang terjadi di Lempeng Lautan Hindia pada 11 April lalu. Dari Analisis data GPS-Jaringan SuGAr LIPI-EOS, gempa ini memberikan dampak menambah beban ke segmen Simeulue, Mentawai dan juga Segmen Selat Sunda.
Dari data GPS terlihat, ketika gempa terjadi, Segmen Simeulue tertekan sampai puluhan centimeter ke arah Timur. Artinya, segmen Simeulue seperti mendapat tambahan beban yang setara dengan akumulasi pergerakan lempeng tektonik selama 10-20 tahun secara instan.
Di pihal lain, pada segmen Mentawai terjadi pergerakan “slow-slip” beberapa centimeter ke arah barat. Slow-slip adakah pergerakan patahan yang relatif pelan sehingga tidak membangkitkan gelombang seismik, namun gerakan ini akan membuat megathrust Mentawai jadi bertambah tegang - atau menjadi lebih dekat ke titik “kritis ledak”-nya.
Megatrush lainnya, tidak banyak datanya, termasuk bagaimana sifat, karakter serta status siklus gempanya. Namun dari data seismisitas dan catatan sejarah kita tahu zona patahan ini sangat aktif dan dapat membangkitkan gempa berkekuatan lebih dari 8 SR.
Dan kita tahu segmen-segmen ini sudah lama 'bertapa' alias tidak ada catatan kejadian gempa besar selama sejarah (ratusan tahun - sampai 1600-an Masehi).
Sedangkan seismic gap di Pulau Sumbawa adalah patahan gempa tipe "back thrust" yaitu mempunyai mekanisme gempa yang sama dengan gempa Flores tahun 1992. Posisi Backthrust di utara Bali, Lombok, dan Sumbawa), dapat membangkitkan gempa berkekuatan sampai sekitar 7.9 SR.
Walaupun status sikus gempanya belum jelas, namun diketahui bahwa patahan di wilayah ini juga merupakan seismic gap. Dan wilayah ini adalah daerah pariwisata dengan populasi dan infrastruktur yang lumayan. Ke semua dari 9 patahan tersebut dapat membangkitkan gelombang tsunami besar karena patahan ini adalah patahan naik di dasar laut.
* DR Danny Hilman
© Copyright 2024, All Rights Reserved