Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta dijadikan alat oleh para elit politik untuk memainkan kepentingannya. Mereka seakan saling menyandera. Masing-masing punya kartu truf untuk menjatuhkan pihak lain. Itulah yang membuat pembahasan sekaligus penyelesaian RUUK itu hingga kini belum ada titik temu yang jelas.
Pendapat itu dikemukakan pakar politik Universitas Gadjah Mada Dr Abdul Gaffar Karim, kepada wartawan di kampus UGM di Bulaksumur, Yogyakarta, Senin (06/12). Di balik kekisruhan itu, ada kepentingan elit politik yang belum jelas dan terus dimainkan.
Para elit seakan saling menyandera. Masing-masing pihak memiliki kartu truf untuk menjatuhkan pihak lain. RUUK hanya menjadi alat saja dan keistimewaan DIY menjadi korbannya.
Pembahasan RUUK akan menjadi berlarut-larut dan tidak akan menemukan titik temu. Karena sebenarnya, tidak ada seorang pun elit yang benar-benar peduli dengan keistimewaan DIY. Mereka hanya menggunakan isu keistimewaan untuk menyerang kelompok lain. Apa pun pernyataan yang dikeluarkan satu pihak, pasti akan mendapat tentangan pihak lain.
Lihatlah kondisi kisruh yang terjadi sekarang. Kita bisa lihat, hingga kini tidak pernah muncul skenario yang jelas mengenai keistimewaan DIY. Dengan demikian, apapun keputusan yang nanti muncul pasti akan dijegal pihak lawan. Misalnya, jika nanti ada keputusan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditentukan melalui penetapan. Demikian pula bila melalui pemilihan, pasti tidak akan berjalan mulus, karena akan dijegal lawannya.
Gejala politik seperti ini, tidak sehat. Kalau ingin betul-betul menyelesaikan masalah, kedua pihak yang pro dan kontra ini harus duduk bersama, berdialog, sehingga didapatkan jalan keluar.
Mengambangnya penyelesaian ini, juga dimanfaatkan pihak lain. Ada pula pihak-pihak yang sengaja memunculkan isu bahwa Keraton Surakarta juga akan meminta keistimewaan jika Yogyakarta diberi keistimewaan. Itu hanya permainan dan akal-akalan belaka. Isu itu semakin menunjukkan bahwa ada permainan politik dibalik kisruhnya RUUK DIY ini. Tidak masuk akal, jika Kasunanan juga ikut meminta keistimewaan karena sejak awal mereka sudah melebur masuk Republik ini.
Belajar dari kasus RUUK DIY, ada persoalan yang lebih mendasar mengenai desentralisasi yang harus diselesaikan. Selama ini, desentralisasi dimaknai harus seragam untuk seluruh daerah di Indonesia, selama itu pula keistimewaan DIY tak akan mendapat tempat.
Pemerintah pusat, seharusnya menghormati keberagaman tersebut. Artinya, desentralisasi tak harus dimaknai semua harus seragam tapi juga harus membuka peluang keberagaman. Jadi kalau pemerintah pusat menganut keberagaman dan DIY diberi keistimewaan, tidaklah masalah. Banyak contoh negara yang mempraktikkan hal seperti itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved