Perkembangan pertanian tembakau saat ini dinilai masih kurang optimal mengingat jumlah produksi tembakau belum dapat mencukupi keseluruh permintaan industri. Padahal tembakau sebagai salah satu komoditas strategi nasional. Bahkan, komoditas ini menjadi penyumbang devisa cukup besar. Sayangnya, hingga saat ini nasib komoditas ini masih saja dalam permasalahan regulasi ditambah tekanan cukup berat dari kalangan anti rokok.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan sebenarnya diperlukan adanya gebrakan dari petani tembakau sendiri untuk bisa memenuhi pasar. Salah satunya dengan meningkatkan produktivitas. Karena produktivitas tembakau yang ada saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang juga penghasil tembakau.
"Berdasarkan catatan kami, produksi tembakau selama beberapa tahun terakhir masih dibawah 200 ribu ton. Sedangkan permintaan pasar telah mencapai lebih dari 300 ribu ton. Maka selisih tersebut terpaksa harus dipenuhi dengan impor," katanya kepada politikindonesia.com disela-sela diskusi "Masa Depan Komoditas Tembakau dalam Badai Regulasi, Kantor Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta, Selasa (01/12).
Menurutnya, tembakau berbeda dengan komoditas strategis pertanian lainnya. Karena hingga saat ini tembakau belum mendapatkan dukungan dan bantuan yang diperlukan untuk bisa meningkatkan produktivitas. Di antaranya pendampingan dan penyuluhan teknis pertanian, pemberian bibit unggul dan pupuk, pembangunan infrastruktur serta akses terhadap peralatan pertanian yang modern.
"Tak heran kalau tanpa dukungan tersebut tingkat produktivitas dan kualitas tembakau yang dihasilkan petani Indonesia belum dapat mencukupi permintaan industri. Selain itu, minimnya bantuan yang di terima oleh petani tembakau semakin meningkat ongkos produksinya sehingga tidak kompetitif," ujarnya.
Dijelaskan, tata niaga pertanian yang komplek juga menjadi salah satu hambatan utama perkembangan komoditas tembakau. Petani sering kali tidak mendapatkan akses langsung untuk menjual hasil panennya kepada pabrikan atau pemasok. Sehingga para petani harus mengandalkan para pengepul dan belandang. Jadi, nilai keuntungan yang seharusnya diterima oleh petani sebagian besar akan hilang akibat peran pihak ketiga,
"Kami berharap pemerintah dapat membantu menyederhanakan tata niaga pertanian tembakau. Sehingga kesejahteraan petani juga akan meningkat. Karena dari sisi agribisnis, tembakau sangat strategis dan menciptakan multiplier efek. Tapi di sisi lain, kalangan anti rokok dan gaya hiup sehat ingin produksi tembakau ditekan," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Perkebunan dan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementan, Nurnowo Paridjo, mengakui saat ini hasil panen komoditas tembakau nasional memang masih kurang sehingga Indonesia melakukan impor. Jika lihat dari segi luas areal dan jumlah produksi, selama beberapa tahun terakhir komoditas tembakau mengalami penurunan.
"Tahun 2012 luas lahan tembakau mencapai 262.000 hektar dengan produksi 263.000 ton. Menurun pada 2014 dengan luas areal 206.000 hektar yang menghasilkan produksi tembakau 222.000 ton. Dari produksi tersebut pada tahun 2014, kontribusi cukai rokok sebesar Rp116 triliun," ucapnya.
Oleh sebab itu pihaknya berencana untuk mendorong swasembada tembakau dengan produktivitas dan kualitasnya yang meningkat. Hal itu dilakukan karena kondisi geografis dan pola iklimnya Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu produsen komoditas tembakau terbesar di dunia.
"Saat ini tembakau Indonesia menguasai 34 persen pangsa pasar dunia dan bahkan pernah menjadi eksportir. Bahkan, tembakau Indonesia yang memiliki ciri khas banyak yang telah menjadi ikon dunia. Tapi karena adanya alih fungsi tembakau ke komodotas lain. Sehingga kita masih harus mengimpor tembakau, padahal pasar tembakau dalam negeri masih terus meningkat," paparnya.
Diungkapkan, saat ini tembakau tengah berada di dalam pusaran regulasi. Untuk mencari solusi di tengah tekanan tembakau menjadi bahan baku rokok dengan resiko kesehatannya, pihaknya mengambil peran pengembangan varietas tembakau rendah nikotin. Padahal sebetulnya tembakau punya peluang terbuka untuk diversifikasi produk.
"Misalnya untuk pestisida nabati itu sangat bagus. Hal itu sedang kami kembangkan terus dan sudah diujicoba. Produk-produk kesehatan untuk produk farmasi juga bisa, Saat ini yang menjadi kekhawatiran kita adalah muncul nikotin sintetis. Sebab itu bisa menghancurkan tembakau," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian (Kemenprin), Faiz Achmad menambahkan, dari sisi industri jumlah permintaan tembakau diprediksi akan terus meningkat seperti yang tercermin dalam peta jalan (Roadmap) industri hasil tembakau tahun 2015-2020. Di mana, produksi rokok diperkirkan akan bertumbuh pada kisaran 5-7,4 persen per tahun. Sementara kapasitas produksi rokok nasional hingga akhir tahun 2015 mencapai 362 miliar batang.
"Jumlah itu mengalami meningkat 16 miliar batang dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, kapasitas produksi rokok dalam negeri hanya mencapai 346 miliar dan kini menyentuh 362 miliar batang. Sedangkan kapasitas industri rokok nasional pada tahun 2009 hanya sebesaar 285 miliar batang. Hal ini menandakan bahwa industri rokok nasional mengalami pertumbuhan," tegasnya.
Diungkapkan, hal tersebut menandakan bahwa industri rokok nasional mengalami pertumbuhan sehingga tentunya akan membutuhkan daun tembakau yang lebih banyak. Jika produksi nasional belum dapat mencukupi, maka saat ini impor tetap menjadi hal yang tak terelakkan. Hal ini harus segera dibenahi agar pertanian dalam negeri bisa mencukupi mayoritas kebutuhan industri rokok nasional.
"Kami berjanji akan mencari jalan untuk mengatasi beberapa permasalahan utama dalam pertanian tembakau guna terus meningkatkan produksi nasional. Sehingga petaninya juga bisa mendapatkan jaminan untuk bisa terus meningkatkan kualitas tembakaunya," imbuhnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved