Sejumlah kasus korupsi yang terjadi, kerap menyeret politisi baik di pusat ataupun daerah erat kaitannya dengan biaya politik yang sangat tinggi. Politik uang dalam Pemilu legislatif ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada), mendorong pejabat tersebut menempuh cara-cara korupsi untuk mengembalikan ongkos politik yang dikeluarkannya pada saat menjabat.
Setidaknya, demikian penilaian yang disampaikan Ketua Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia (PKBI) Zanubah Arifah Chafsoh menanggapi semakin meningkatnya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah saat ini.
Putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Yenny Wahid menyarankan para politisi untuk berpikir matang sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. “Jika dirinya tidak memiliki integritas yang baik ongkos politik untuk menjadi pemimpin di Indonesia dinilai sangat tinggi. Hal itu memicu terjadinya politik balas budi untuk membayar utang politik setelah calon pemimpin menduduki jabatannya,” ujarnya kepada politikindonesia.com di Jakarta, Jumat (14/09).
Kepada Elva Setyaningrum, wanita kelahiran Jombang, Jawa Timur 29 Oktober 1974 ini mengemukakan pendapatnya mengenai fenomena semakin banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi. Ia juga mengritik sistem yang membuat ongkos politik di Indonesia menjadi tinggi. Yenny juga mengemukakan pemikirannya tentang persoalan tersebut. Berikut hasil wawancaranya.
Bagaimana pendapat Anda terkait banyaknya kepala daerah yang kini terjerat kasus korupsi?
Jujur saya prihatin. Begitu banyak kepala daerah yang terkena kasus hukum, saat ini, terutama kasus korupsi. Saya sangat tidak setuju dengan tindakan sejumlah kepala daerah yang melakukan korupsi untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya.
Saya melihat, nilai-nilai dasar Pancasila telah rapuh dan terkikis dari diri mereka. Tujuan mulia sebagai pemimpin untuk melayani publik sudah bergeser menjadi melayani kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mengejar kekuasaan.
Dalam prakteknya, jabatan bukan digunakan untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat banyak melainkan untuk memperkaya diri sendiri atau dibuat agar dia bisa berkuasa lebih lama lagi. Kalau bukan dia lagi yang berkuasa, bisa jadi istrinya atau mungkin anaknya, atau kelompoknya.
Artinya, kekuasaan dan politik dimanfaatkan untuk memperkaya diri?
Bisa disebut begitu. Bagi mereka, politik dijadikan kendaraan untuk mengeruk keuntungan bagi perusahaan yang dikelola dirinya, keluarga atau kelompoknya. Dengan memanfaatkan kekuasaan, mereka membuat kekuasaan yang mengguntungkan perusahaannya.
Jadi kalau seorang pengusaha kemudian naik ke level kebijakan, ini untuk menguntungkan dirinya. Kalau dulu trennya ada koalisi antara pengusaha dengan penguasa, tapi sekarang pengusaha yang menjadi penguasa. Dengan begitu, mereka mengendalikan kebijakan lebih cepat.
Tapi perlu diingat. Jangan digeneralisasi. Faktanya, tidak semua pengusaha yang jadi penguasa lantas melakukan korupsi. Ada juga pengusaha yang jadi Gubernur, tapi bisa memajukan pembangunan di daerahnya.
Anda melihat ada kaitan tidak, antara korupsi dengan biaya politik saat berupa meraih kekuasan?
Ini berkaitan. Harus diakui, proses pemilihan pemimpin, mulai dari kepala daerah hingga Presiden, membutuhkan ongkos politik yang tidak sedikit. Apalagi jika calon yang bersangkutan berupaya membeli suara konstituennya. Biasanya
Kalau kita lihat, sejumlah pejabat yang kini berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah mereka yang saat berupaya meraih jabatan ini menggunakan biaya politik tinggi.
Saya melihat hal ini terjadi karena budaya kita masih berdasarkan patriliasme. Sebagian masyarakat menganggap orang yang dianggap bisa jadi pemimpin harus mampu berkontribusi untuk bangsa dan negara ini. Tapi, justru calon itu diminta menyumbang. Harusnya, calon pemimpin itu meminta modal kepada rakyat.
Jika si calon memenuhi hal itu, maka wajar, ketika dia sudah menjabat jadi korupsi. Karena dia telah mengeluarkan biaya politik yang besar sekali.
Keadaan ini sangat berbeda dengan di luar negeri, dimana kesadaran masyarakatnya tinggi. Mereka justru bergotong-royong untuk membiayai calon mereka yang dianggapnya mampu memimpin lebih baik.
Menurut anda, berapa ongkos politik yang harus dikeluarkan untuk maju Pilkada di Indonesia?
Kebetulan saya pernah bertanya kepada sejumlah pejabat di Indonesia mengenai ongkos politik yang mereka keluarkan. Kalau untuk menjadi bupati, walikota atau gubernur di daerah yang sedang-sedang saja, dana sebesar Rp15 miliar tidak cukup. Bayangkan, untuk model kampanye sedang-sedang saja, Rp15 miliar tidak cukup. Makanya, ketika dia menjabat, ada dorongan untuk kembali balik modal.
Kalau bicara calon presiden, angkanya bisa lebih fantastis. Uangnya bisa mencapai triliunan rupiah. Kita tahu, hanya sedikit orang Indonesia yang memiliki uang sebanyak itu. Bahkan SBY pun saat menjadi Presiden tak punya uang sebanyak itu. Tak bisa dipungkiri, mereka yang mencalonkan banyak yang menyumbang.
Mengapa biaya kampanye politik di Indonesia begitu tinggi dan cenderung meningkat?
Biaya kampanye politik semakin mahal, karena beberapa hal. Pertama, karena adanya persaingan yang semakin banyak. Banyak orang berlomba jadi politisi, terutama pengusaha, yang mana mereka tak segan menggelontorkan banyak uang. Ketika saingannya membuat kampanye yang besar, maka kompetitor lainnya tidak mau kalah dengan membuat kampanye yang tidak kalah besar.
Kedua, adanya kesalahan persepsi di antara politisi. Banyak politisi yang berpikir yang bagus iklannya adalah yang banyak muncul di televisi dan di koran-koran nasional. Kita sering melihat saat pemilihan bupati daerah mana tapi iklannya di televisi nasional. Padahal bukan itu esensinya.
Ketiga, politisi tidak punya kemampuan menarik massa secara alami, mengandalkan politik uang. Misalnya ada yang mau maju dalam pemilukada menggelar pagelaran dangdut untuk mengumpulkan massa. Jadi warga dari beberapa desa dikumpulkan lalu dicarikan angkutan dan pulangnya diberi uang. Ini costly sekali.
Bagaimana caranya untuk mengendalikan biaya kampanye politik ini?
Seharusnya ada aturan pemerintah. Kalau di Filipina, kampanye politik diatur. Pemerintah hanya memberi berapa. Di Indonesia saat ini belum ada aturan yang jelas. Kalau dibatasi uang kampanyenya, tentu mereka kreatif dengan keterbatasan yang dimiliki. Tapi jangan kreatif yang tidak jelas.
Saya masih belum melihat ada niatan pemerintah untuk pengaturan biaya kampanye itu. Jika tidak da aturan yang jelas, saya kira KPK akan semakin sibuk. Karena semakin banyak politisi yang ingin mengembalikan modal besar yang sudah dikeluarkan dengan korupsi.
Apa solusi permasalah ini menurut Anda?
Kita harus membangun kesadaran bersama, bahwa masyarakat memilih jangan karena berdasarkan politik uang yang diberikan saat kampanye. Selain itu, para pemimpin juga harus memberikan inspirasi kepada masyarakatnya bahwa mereka juga mau berkorban. Jadi masyarakat harus mau bekerjasama melakukan perubahan kultur, terutama dari para pemimpinnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved